KONTRIBUSI PERPUSTAKAAN DAERAH BANGKA BARAT DALAM MENCERDASKAN DAN MENINGKATKAN MINAT BACA MASYARAKAT

Oleh: SURYAN

Latar Belakang Masalah

Perpustakaan adalah pusat informasi yang menyediakan pengetahuan dan informasi siap akses bagi para pemakainya. Layanan perpustakaan disediakan dengan dasar kesamaan akses untuk semua orang tanpa memandang perbedaan umur, ras, gender, agama, kebangsaan, bahasa dan status sosial. Layanan dan materi khusus harus disediakan bagi pihak yang karena alasan tertentu tidak dapat menggunakan layanan dan materi biasa. Sebagai contoh pihak dengan minoritas, para penyandang cacat, orang sakit maupun narapidana.

Peran perpustakaan sebagai wahana untuk mencerdaskan masyarakat sekitarnya menjadi sangat penting, antara lain dengan belum berkembangnya perpustakaan sekolah, dan upaya untuk semakin memberdayakan daerah dalam rangka pelaksanaan otonomi daerah. Ia harus menyiapkan informasi siap akses bagi para pemakainya, yang bersifat terbuka untuk umum dan memberikan jasa pelayanan yang bersifat cuma-cuma. Ia juga dapat menjadi suatu tempat pendidikan yang terbuka untuk siapa saja, menyediakan layanan dan koleksi untuk semua kalangan masyarakat.

Perpustakaan adalah salah satu sarana untuk mencerdaskan kehidupan bangsa yang merupakan bagian integral dari kegiatan pembangunan nasional. Dengan tujuan untuk mengembangkan kebiasaan membaca dan menulis bagi masyarakat, maka terbuka daya kreasi dan motivasi mereka untuk peningkatan produktivitas setiap warga masyarakat secara menyeluruh dan ikut berperan serta dalam pembangunan nasional.

Dalam memberikan pelayanannya, perpustakaan mengutamakan kepentingan pengguna, dengan menyediakan bahan perpustakaan yang sesuai dengan kebutuhan pengguna perpustakaan, sehingga fungsi perpustakaan dapat terlaksana dengan baik.

Begitu juga dengan Perpustakaan Daerah Kabupaten Bangka Barat, yang berdiri tahun 2009. layaknya perpustakaan yang lain, perpustakaan daerah juga diharapkan agar dapat menjadi pusat informasi penting dan sumber pengetahuan bagi masyarakat, baik itu masyarakat kota, desa, kalangan berpedidikan maupun yang tidak berpendidikan. Dengan adanya perpustakaan daerah, diharapkan dapat menjadi faktor penting dalam pembangunan daerah dan peningkatan sumber daya manusia.

Berangkat dari permasalahan di atas, dapat dirumuskan rumusan masalah dalam kajian ini; yaitu, Kontribusi apa yang diberikan oleh perpustakaan daerah Bangka Barat dalam mencerdaskan dan meningkatkan minat baca masyarakat?

Kemudian, dari perumusan tersebut tujuan yang ingin dicapai, yakni untuk mengetahui kontribusi yang telah diberikan oleh perpustakaan daerag Bangka Barat dalam mencerdaskan dan meningkatkan minat baca masyarakat, sejak berdirinya perpustakaan tersebut hingga sekarang.

Sekilas Sejarah Dan Perkembangan Perpustakaan Di Indonesia

Sejarah perpustakaan di Indonesia tergolong masih muda jika dibandingkan dengan negara Eropa dan Arab. Jika kita mengambil pendapat bahwa sejarah perpustakaan ditandai dengan dikenalnya tulisan, maka sejarah perpustakaan di Indonesia dapat dimulai pada tahun 400-an yaitu saat lingga batu dengan tulisan Pallawa ditemukan dari periode Kerajaan Kutai. Musafir Fa-Hsien dari tahun 414 Menyatakan bahwa di kerajaan Ye-po-ti, yang sebenarnya kerajaan Tarumanegara banyak dijumpai kaum Brahmana yang tentunya memerlukan buku atau manuskrip keagamaan yang mungkin disimpan di kediaman pendeta. Pada sekitar tahun 695 M, menurut musafir I-tsing dari Cina, di Ibukota Kerajaan Sriwijaya hidup lebih dari 1000 orang biksu dengan tugas keagamaan dan mempelajari agama Budha melalui berbagai buku yang tentu saja disimpan di berbagai biasa.

Pada sekitar tahun 695 M, menurut musafir I-tsing dari Cina, di Ibukota Kerajaan Sriwijaya hidup lebih dari 1000 orang biksu dengan tugas keagamaan dan mempelajari agama Budha melalui berbagai buku yang tentu saja disimpan di berbagai biasa.

Di pulau Jawa, sejarah perpustakaan tersebut dimulai pada masa Kerajaan Mataram. Hal ini karena di kerajaan ini mulai dikenal pujangga keraton yang menulis berbagai karya sastra. Karya-karya tersebut seperti Sang Hyang Kamahayanikan yang memuat uraian tentang agama Budha Mahayana. Menyusul kemudian Sembilan parwa sari cerita Mahabharata dan satu kanda dari epos Ramayana. Juga muncul dua kitab keagamaan yaitu Brahmandapurana dan Agastyaparwa. Kitab lain yang terkenal adalah Arjuna Wiwaha yang digubah oleh Mpu Kanwa.

Dari uraian tersebut nyata bahwa sudah ada naskah yang ditulis tangan dalam media daun lontar yang diperuntukkan bagi pembaca kalangan sangat khusus yaitu kerajaan. Jaman Kerajaan Kediri dikenal beberapa pujangga dengan karya sastranya. Mereka itu adalah Mpu Sedah dan Mpu Panuluh yang bersama-sama menggubah kitab Bharatayudha. Selain itu Mpu panuluh juga menggubah kitab Hariwangsa dan kitab Gatotkacasrayya. Selain itu ada Mpu Monaguna dengan kitab Sumanasantaka dan Mpu Triguna dengan kitam Kresnayana.

Semua kitab itu ditulis diatas daun lontar dengan jumlah yang sangat terbatas dan tetap berada dalam lingkungan keraton. Periode berikutnya adalah Kerajaan Singosari. Pada periode ini tidak dihasilkan naskah terkenal. Kitab Pararaton yang terkenal itu diduga ditulis setelah keruntuhan kerajaan Singosari. Pada jaman Majapahit dihasilkan dihasilkan buku Negarakertagama yang ditulis oleh Mpu Prapanca. Sedangkan Mpu Tantular menulis buku Sutasoma. Pada jaman ini dihasilkan pula karya-karya lain seperti Kidung Harsawijaya, Kidung Ranggalawe, Sorandaka, dan Sundayana.

Kegiatan penulisan dan penyimpanan naskah masih terus dilanjutkan oleh para raja dan sultan yang tersebar di Nusantara. Misalnya, jaman kerajaan Demak, Banten, Mataram, Surakarta Pakualaman, Mangkunegoro, Cirebon, Demak, Banten, Melayu, Jambi, Mempawah, Makassar, Maluku, dan Sumbawa. Dari Cerebon diketahui dihasilkan puluhan buku yang ditulis sekitar abad ke-16 dan ke-17. Buku-buku tersebut adalah Pustaka Rajya-rajya & Bumi Nusantara (25 jilid), Pustaka Praratwan (10 jilid), Pustaka Nagarakretabhumi (12 jilid), Purwwaka Samatabhuwana (17 jilid), Naskah hukum (2 jilid), Usadha (15 jilid), Naskah Masasastra (42 jilid), Usana (24 jilid), Kidung (18 jilid), Pustaka prasasti (35 jilid), Serat Nitrasamaya pantara ning raja-raja (18 jilid), Carita sang Waliya (20 jilid), dan lainlain. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa Cirebon merupakan salah satu pusat perbukuan pada masanya. Seperti pada masamasa sebelumnya buku-buku tersebut disimpan di istana.

Kedatangan bangsa Barat pada abad ke-16 membawa budaya tersendiri. Perpustakaan mulai didirikan mula-mula untuk tujuan menunjang program penyebaran agama mereka. Berdasarkan sumber sekunder perpustakaan paling awal berdiri pada masa ini adalah pada masa VOC (Vereenigde OostJurnal Indische Compaqnie) yaitu perpustakaan gereja di Batavia (kini Jakarta) yang dibangun sejak 1624. Namun karena beberapa kesulitan perpustakaan ini baru diresmikan pada 27 April 1643 dengan penunjukan pustakawan bernama Ds. (Dominus) Abraham Fierenius. Pada masa inilah perpustakaan tidak lagi diperuntukkan bagi keluarga kerajaan saja, namun mulai dinikmati oleh masyarakat umum. Perpustakaan meminjamkan buku untuk perawat rumah sakit Batavia, bahkan peminjaman buku diperluas sampai ke Semarang dan Juana (Jawa Tengah). Jadi pada abad ke-17 Indonesia sudah mengenal perluasan jasa perpustakaan (kini layanan seperti ini disebut dengan pinjam antar perpustakaan atau interlibrary loan). Lebih dari seratus tahun kemudian berdiri perpustakaan khusus di Batavia. Pada tanggal 25 April 1778 berdiri Bataviaasche Genootschap van Kunsten en Wetenschappen (BGKW) di Batavia. Bersamaan dengan berdirinya lembaga tersebut berdiri pula perpustakaan lembaga BGKW. Pendirian perpustakaan lembaga BGKW tersebut diprakarsai oleh Mr. J.C.M.

Rademaker, ketua Raad van Indie (Dewan Hindia Belanda). Ia memprakarsai pengumpulan buku dan manuskrip untuk koleksi perpustakaannya. Perpustakaan ini kemudian mengeluarkan katalog buku yang pertama di Indonesia yaitu pada tahun 1846 dengan judul Bibliotecae Artiumcientiaerumquae Batavia Florest Catalogue Systematicus hasil suntingan P. Bleeker. Edisi kedua terbit dalam bahasa Belanda pada tahun 1848. Perpustakaan ini aktif dalam pertukaran bahan perpustakaan. Penerbitan yang digunakan sebagai bahan pertukaran adalah Tijdschrift voor Indische Taal-, Land- en Volkenkunde, Verhandelingen van het Bataviaasch Genootschapn van Kunsten en Wetenschappen, Jaarboek serta Werken buiten de Serie. Karena prestasinya yang luar biasa dalam meningkatkan ilmu dan kebudayaan, maka namanya ditambah menjadi Koninklijk Bataviaasch Genootschap van Kunsten en Wetenschappen. Nama ini kemudian berubah menjadi Lembaga Kebudayaan Indonesia pada tahun 1950.

Pada tahun 1962 Lembaga Kebudayaan Indonesia diserahkan kepada Pemerintah Republik Indonesia dan namanyapun diubah menjadi Museum Pusat. Koleksi perpustakaannya menjadi bagian dari Museum Pusat dan dikenal dengan Perpustakaan Museum Pusat. Nama Museum Pusat ini kemudian berubah lagi menjadi Museum Nasional, sedangkan perpustakaannya dikenal dengan Perpustakaan Museum Nasional.

Pada tahun 1980 Perpustakaan Museum Nasional dilebur ke Pusat Pembinaan Perpustakaan. Perubahan terjadi lagi pada tahun 1989 ketika Pusat Pembinaan Perpustakaan dilebur sebagai bagian dari Perpustakaan Nasional Republik Indonesia. Sesudah pembangunan BKGW, berdirilah perpustakaan khusus lainnya seiring dengan berdirinya berbagai lembaga penelitian maupun lembaga pemerintahan lainnya. Sebagai contoh pada tahun 1842 didirikan Bibliotheek’s Lands Plantentuin te Buitenzorg. Pada tahun 1911 namanya berubah menjadi Central Natuurwetenchap-pelijke Bibliotheek van het Departement van Lanbouw, Nijverheid en Handel. Nama ini kemudian berubah lagi menjadi Bibliotheca Bogoriensis. Tahun 1962 nama ini berubah lagi menjadi Pusat Perpustakaan Penelitian Teknik Pertanian, kemudian menjadi Pusat Perpustakaan Biologi dan Pertanian. Perpustakaan ini berubah nama kembali menjadi perpustakaan ini bernama Perpustakaan Pusat Pertanian dan Komunikasi Penelitian. Kini perpustakaan ini bernama Pusat Perpustakaan dan Penyebaran Hasil-hasil Penelitian. Setelah periode tanam paksa, pemerintah Hindia Belanda menjalankan politik etis untuk membalas ”utang” kepada rakyat Indonesia. Salah satu kegiatan politik etis adalah pembangunan sekolah rakyat.

Dalam bidang perpustakaan sekolah, pemerintah Hindia Belanda mendirikan Volksbibliotheek atau terjemahan dari perpustakaan rakyat, namun pengertiannya berbeda dengan pengertian perpustakaan umum. Volksbibliotheek artinya perpustakaan yang didirikan oleh Volkslectuur (kelak berubah menjadi Balai Pustaka), sedangkan pengelolaannya diserahkan kepada Volkschool. Volkschool artinya sekolah rakyat yang menerima tamatan sekolah rendah tingkat dua. Perpustakaan ini melayani murid dan guru serta menyediakan bahan bacaan bagi rakyat setempat. Murid tidak dipungut bayaran, sedangkan masyarakat umum dipungut bayaran untuk setiap buku yang dipinjamnya.

Kalau pada tahun 1911 pemerintah Hindia Belanda mendirikan Hindia Belanda mendirikan Indonesische Volksblibliotheken, maka pada tahun 1916 didirikan Nederlandsche Volksblibliotheken yang digabungkan dalam Holland-Inlandsche School (H.I.S). H.I.S. merupakan sejenis sekolah lanjutan dengan bahasa pengantar Bahasa Belanda. Tujuan Nederlandsche Volksblibliotheken adalah untuk memenuhi keperluan bacaan para guru dan murid. Di Batavia tercatat beberapa sekolah swasta, diantaranya sekolah milik Tiong Hoa, Hwe Koan, yang memiliki perpustakaan. Sekolah tersebut menerima bantuan buku dari Commercial Press (Shanghai) dan Chung Hua Book Co. (Shanghai).

Sebenarnya sebelum pemerintah Hindia Belanda mendirikan perpustakaan sekolah, pihak swasta terlebih dahulu mendirikan perpustakaan yang mirip dengan pengertian perpustakaan umum dewasa ini. Pada tahun awal tahun 1910 berdiri Openbare leeszalen. Istilah ini mungkin dapat diterjemahkan dengan istilah ruang baca umum. Openbare leeszalen ini didirikan oleh antara lain Loge der Vrijmetselaren, Theosofische Vereeniging, dan Maatschappij tot Nut van het Algemeen.

Perkembangan Perpustakaan Perguruan Tinggi di Indonesia dimulai pada awal tahun 1920an yaitu mengikuti berdirinya sekolah tinggi, misalnya seperti Geneeskunde Hoogeschool di Batavia (1927) dan kemudian juga di Surabaya dengan STOVIA; Technische Hoogescholl di Bandung (1920), Fakultait van Landbouwwentenschap (er Wijsgebeerte Bitenzorg, 1941), Rechtshoogeschool di Batavia (1924), dan Fakulteit van Letterkunde di Batavia (1940). Setiap sekolah tinggi atau fakultas itu mempunyai perpustakaan yang terpisah satu sama lain.

Pada jaman Hindia Belanda juga berkembang sejenis perpustakaan komersial yang dikenal dengan nama Huurbibliotheek atau perpustakaan sewa. Perpustakaan sewa adalah perpustakaan yang meminjamkan buku kepada kepada pemakainya dengan memungut uang sewa. Pada saat itu tejadi persaingan antara Volksbibliotheek dengan Huurbibliotheek. Sungguhpun demikian dalam prakteknya terdapat perbedaan bahan bacaan yang disediakan. Volksbibliotheek lebih banyak menyediakan bahan bacaan populer ilmiah, maka perpustakaan Huurbibliotheek lebih banyak menyediakan bahan bacaan berupa roman dalam bahasa Belanda, Inggris, Perancis, buku remaja serta bacaan gadis remaja. Disamping penyewaan buku ter-dapat penyewaan naskah, misalnya penulis Muhammad Bakir pada tahun 1897 mengelola sebuah perpustakaan sewaan di Pecenongan, Jakarta. Jenis sewa Naskah juga dijumpai di Palembang dan Banjarmasin. Naskah disewakan pada umumnya dengan biaya tertentu dengan disertai permohonan kepada pembacanya supaya menangani naskah dengan baik.

Disamping perpustakaan yang didirikan oleh Pemerintah Hindia Belanda, sebenarnya tercatat juga perpustakaan yang didirikan oleh orang Indonesia. Pihak Keraton Mangkunegoro mendirikan perpustakaan keraton sedangkan keraton Yogyakarta mendirikan Radyo Pustoko. Sebagian besar koleksinya adalah naskah kuno. Koleksi perpustakaan ini tidak dipinjamkan, namun boleh dibaca di tempat. Pada masa penjajahan Jepang hampir tidak ada perkembangan perpustakaan yang berarti. Jepang hanya mengamankan beberapa gedung penting diantaranya Bataviaasch Genootschap van Kunten Weetenschappen.

Selama pendudukan Jepang openbare leeszalen ditutup. Volkbibliotheek dijarah oleh rakyat dan lenyap dari permukaan bumi. Karena pengamanan yang kuat pada gedung Bataviaasch Genootschap van Kunten Weetenschappen maka koleksi perpustakaan ini dapat dipertahankan, dan merupakan cikal bakal dari Perpustakaan Nasional. Perkembangan pasca kemerdekaan mungkin dapat dimulai dari tahun 1950an yang ditandai dengan berdirinya perpustakaan baru. Pada tanggal 25 Agustus 1950 berdiri perpustakaan Yayasan Bung Hatta dengan koleksi yang menitikberatkan kepada pengelolaan ilmu pengetahuan dan kebudayaan Indonesia.

Tanggal 7 Juni 1952 perpustakaan Stichting voor culturele Samenwerking, suatu badan kerjasama kebudayaan antara pemerintah RI dengan pemerintah Negeri Belanda, diserahkan kepada pemerintah RI. Kemudian oleh Pemerintah RI diubah menjadi Perpustakaan Sejarah Politik dan Sosial Departemen P & K. Dalam rangka usaha melakukan pemberantasan buta huruf di seluruh pelosok tanah air, telah didirikan Perpustakaan Rakyat yang bertugas membantu usaha Jawatan Pendidikan Masyarakat melakukan usaha pemberantasan buta huruf tersebut. Pada periode ini juga lahir perpustakaan Negara yang berfungsi sebagaiperpustakaan umum dan didirikan di Ibukota Propinsi. Perpustakaan Negara yang pertama didirikan di Yogyakarta pada tahun 1949, kemudian disusul Ambon (1952); Bandung (1953); Ujung Pandang (1954); Padang (1956); Palembang (1957); Jakarta (1958); Palangkaraya, Singaraja, Mataram, Medan, Pekanbaru dan Surabaya (1959). Setelah itu menyusul kemudian Perpustakaan Nagara di Banjarmasin (1960); Manado (1961); Kupang dan Samarinda (1964). Perpustakaan Negara ini dikembangkan secara lintas instansional oleh tiga instansi yaitu Biro Perpustakaan Departemen P & K yang membina secara teknis, Perwakilan Departemen P & K yang membina secara administratif, dan Pemerintah Daerah Tingkat Propinsi yang memberikan fasilitas.

Sejalan dengan perkembangan tersebut, seiring itu pula perkembangan perpustakaan-perpustakaan di sekolah dan perguruan tinggi, mulai dari yang menggunakan pelayanan manual, hingga pelayanan digital dan online.

Awal Beridirinya Perpustakaan Daerah Bangka Barat

Setiap daerah pasti membutuhkan suatu wadah yang dijadikan sebagai pusat informasi yang menyedian pengetahuan bagi masyarakat, khusunya pengetahuan tentang daerah dan perkembangannya. Karena itulah, pada tahun 2009 Pemerintah Kabupaten Bangka Barat (sebagai kabupaten pemekaran) mendirikan perpustakaan daerah, yakni delapan tahun setelah Pulau Bangka dan Belitung resmi menjadi provinsi ke 31 pada tahun 2000.

Berdirinya perpustakaan daerah Bangka Barat didasari oleh keinginan pemerintah daerah untuk mencerdaskan dan meningkatkan minat serta membudayakan budaya membaca di linkungan otoritas Pemerintah Kabupaten Bangka Barat.

Adapun visi dan misi berdirinya perpustakaan daerah tersebut sebgai berikut:

Visi: “Terwujudnya budaya baca dan tertip arsip untuk menuju masyarakat Bangka Barat cerdas, mandiri, dan sejahtera.”

Misi: 1. Meningkatkan pelayanan perpustakaan dan kearsipan;
2. Meningkatkan system pengelolaan perpustakaan dan kearsipan;
3. Meningkatkan sarana dan prasarana pengelolaan perpustakaan dan kearsipan;
4. Meningkatkan teknis petugas aparatur di bidang perpustakaan dan kearsipan: dan
5. Meningkatkan minat baca dan budaya baca masyarakat.

Sedangkan tujuannya adalah meningkatkan minat dan budaya baca dengan cara mengadakan perpustakaan keliling dan meningkatkan koleksi buku.

Berdasarkan data kearsipan Perpustakaan Daerah Bangka Barat awal tahun 2011, jumlah pengadaan buku dari tahun 2009 sampai akhir 2010 sebanyak 2472 judul dengan jumlah bukunya sebanyak 4349 eksemplar. Dari data tersebut dapat diketahui, semenjak berdirinya hingga sekarang tercatat jumlah pengunjungnya sebanyak 3376 orang dan peminjamnya tercatat sebanyak 2717 orang.

Kontribusi Perpustakaan Daerah Dalam Mencerdaskan Dan Meningkatkan Minat Baca Masyarakat

Sebagaimana kita ketahui, bahwa keberadaan perpustkaaan sangan berperan bagi kelangsungan sebuah peradaban dan budaya umat manusia. Tinggi rendahnya peradaban dan budaya suatu bangsa dapat dilihat dari kondisi perpustakaan yang dimiliki. Hal ini dapat diketahuiketika manusia purba mulai menggores dinding gua tempat mereka tinggal, sebenarnya mereka mulai merekam pengetahuan mereka untuk diingat dan disampaikan kepada pihak lain. Mereka menggunakan tanda atau gambar untuk mengekspresikan pikiran dan/atau apa yang dirasakan serta menggunakan tanda-tanda dan gambar tersebut untuk mengkomunikasikannya kepada orang lain

Waktu itulah eksistensi dan fungsi perpustakaan mulai disemai. Penemuan mesin cetak, pengembangan teknik rekam, dan pengembangan teknologi digital yang berbasis teknologi informasi dan komunikasi mempercepat tumbuh-kembangnya perpustakaan. Pengelolaan perpustakaan menjadi semakin kompleks. Dari sini awal mulai berkembang ilmu dan teknik mengelola perpustakaan

Perpustakaan sebagai sistem pengelolaan rekaman gagasan, pemikiran pengalaman, dan pengetahuan umat manusia, mempunyai fungsi utama melestarikan hasil budaya umat manusia tersebut, khususnya yang berbentuk dokumen karya cetak dan karya rekam lainnya, serta menyampaikan gagasan, pemikiran, pengalaman, dan pengetahuan umat manusia itu kepada generasi-generasi selanjutnya. Sasaran dari pelaksanaan fungsi ini adalah terbentuknya masyarakat yang mempunyai budaya membaca dan belajar sepanjang hayat

Dalam Undang-Undang Perpustakaan No 43 Tahun 2007 Pasal 1 ayat 1 manyatakan Perpustakaan adalah institusi pengelola koleksi karya tulis, karya cetak, dan/atau karya rekam secara profesional dengan sistem yang baku guna memenuhi kebutuhan pendidikan, penelitian, pelestarian, informasi, dan rekreasi para pemustaka dan lain sebagainya.

Menurut Undang-Undang Perpustakaan No 43 Tahun 2007 Pasal 25 yang berbunyi ”Perpustakaan khusus menyediakan bahan perpustakaan sesuai dengan kebutuhan pemustaka di lingkungannya”. Perpustakaan khusus memberikan layanan kepada pemustaka dil ingkungannya dan secara terbatas memberikan layanan kepada pemustaka di luar lingkungannya. Pemustaka adalah pengguna perpustakaan, yaitu perseorangan kelompok orang, masyarakat, atau lembaga yang memanfaatkan fasilitas layanan perpustakaan. Kegiatan membaca bagi masyarakat di Indonesia menjadi semakin bermasalah di tengah maraknya era multimedia. Ketidaksukaan seorang anak akan buku bacaan seringkali disebabkan karena anak belum mengerti manfaat membaca buku. Oleh karena itu, peran perpustakaan daerah sangat diperlukan untuk sarana perpustakaan yang mudah dijangkau, murah, dan bermutu. Yang nantinya memberikan pengertian akan pentingnya membaca buku.

Adapun kontribusi yang dapat diberikan oleh perpustakaan daerah dalam mencerdaskan dan meningkatkan minat baca masayarakat sebagai berikut:

1. Memberikan informasi, pengetahuan, sebagi sumber pendidikan, penelitian, preservasi khasanah budaya bangsa serta tempat rekreasi yang sehat, murah an bermanfaat.
2. Menjadi media atau jembatan yang berfungsi menghubungkan antara sumber infromasi dan ilmu pengetahuan yang terkandung di dalam koleksi perpustakaan dengan para pemakainya.
3. Sebagai sarana untuk menjalin dan mengembangkan komunikasi antar sesama pengguna serta antara penyelenggara dengan masyarakat.
4. Menjadi lembaga untuk mengembangkan minat baca dan budaya baca.
5. Sebagai fasilitator, mediator dan motivator bagi mereka yang ingin mencari, memenfaatkan dan megembangkan ilmu pengetahuan dan pengalamannya.
6. Sebagai lembaga pendidikan nonformal bagi penggunanya. Mereka dapat belajar secara otodidak, melakukan penelitian, menggali dan memanfaatkan sumber informasi dan ilmu pengetahuan.
7. Membimbing dan menjadi media konsulatatif terkait dengan fungsi prpustakaan secara umum.
8. Dapat dijadikan sebagai ukuran/barometer atas kemajuan masyarakat yang bisa dilihat diantaranya dari intensitas kunjungan dan pemakaian perpustakaan.

Jika dilihat dari aspek sosialnya, maka secara umum perpustakaan dapat berperan sebagai:

1. Penyimpanan berbagai penemuan sejarah, pemikiran dan ilmu pengetahuan yang telah ditemukan pada masa lalu yang direkam dalam bentuk tulisan atau bentuk tertentu.
2. Media untuk mempelajari, meneliti, mengkaji dan mengembangkan bukti-bukti sejarah masa lalu untuk digunakan sebagai landasan penuntun dalam perencanaan masa depan.
3. Sebagai agen perubah sosial. Perpustakaan dengan segala karakteristiknya bisa menjadi agen perubah sosial.

Oleh karena itu, dengan adanya perpustakaan daerah, setidaknya dapat menjadi sumber informasi terdekat, berkenaan tentang daerah tersebut (Bangka Barat). Seberapapun kecilnya kontribusi yang diberikan kepada masyarakat, pasti itu semua penting dan bermakna bagi masyarakat dan daerah tersebut.

Kesimpulan

Perpustakaan daerah adalah salah satu sumber informasi yang penting dalam sebuah daerah. Begitulah keberadaan perpustakaan daerah Bangka Barat, yang tentunya juga menjadi sumber penting, baik untuk pembangunan daerah maupun untuk pengembangan sumber daya manusianya.

Setidaknya dengan adanya perpustakaan daerah, informasi semua hal atau arsip yang menyangkut tentang daerah, baik dari segi sejarah, budaya, tradisi, ekonoami, pertanian, pendidikan, dan kehidupan sosial dapat ditemui dan diketahui di sini, dan ini menjadi kontribusi yang berguna bagi masyarakat.

Daftar Pustaka

Abdul Rahman Saleh, sebagai kontribusi untuk Naskah Akademik Rancangan Undang-undang Perpustakaan dikutip dari http://duniaperpustakaan.com/2010/03/12/sejarah-perpustakaan-di-indonesia/
Arif Surachman, Perpustakaan Perguruan Tinggi Menghadapi perubahan Paradigma Informasi, dikutip dari http:arifs.staff.ugm.ac.id.
http://www.wikimu.com/News/DisplayNews.aspx?id=11207

Klik untuk mengakses Chapter%20I.pdf

Iskandar, Peran Perpustakaan Pesantren dalam Pendidikan.(www.pustakawan.pnri.go.id)

Tinggalkan komentar